PERLAWANAN PATTIMURA (1817)
Latar
Belakang Terjadinya Perlawanan
Maluku termasuk daerah
yang paling awal didatangi oleh Belanda yang kemudian berhasil memaksakan
monopoli perdagangan. Rempah-rempah Maluku hanya boleh dijual kepada Belanda.
Kalau tidak dijual kepada Belanda, maka mereka dicap sebagai penyelundup dan
pembangkang. Maka latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Thomas Matulessi yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura,
adalah sebagai berikut.
1) Kembalinya
pemerintahan kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris. Perubahan
penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan.
Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan yang kurang,
sudah barang tentu akan menimbulkan rasa tak puas dan kegelisahan.
2) Pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib. Pada zaman
pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte leverantien,
herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda mengharuskannya lagi.
Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor diturunkan, sedang
pembayarannya ditunda-tunda.
3) Pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam yang sudah
berlaku di Maluku, menambah kegelisahan rakyat.
4) Belanda juga mulai
menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi Serdadu (Tentara)
Belanda.
Jalannya Perlawanan
Protes rakyat di bawah
pimpinan Thomas Matulessi diawali dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan
kepada Belanda. Daftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih,
raja dari Saparua dan Nusa Laut. Namun tidak mendapat tanggapan dari Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, di antaranya Thomas Matulessi
berkumpul di hutan Warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng di
Saparua dan membunuh semua penghuninya.
Pada tanggal 9 Mei
berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat tersebut. Dipilihnya
Thomas Matulessi sebagai kapten.
Serangan dimulai pada
tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerbu pos Belanda di Porto. Residen Van den Berg
dapat ditawan, namun kemudian dilepas lagi.
Keesokan harinya rakyat
mengepung benteng Duurstede dan direbut dengan penuh semangat. Seluruh isi
benteng itu dibunuh termasuk residen Van den Berg beserta keluarga dan para
perwira lainnya. Rakyat Maluku berhasil menduduki benteng Duurstede.
Setelah kejadian itu,
Belanda mengirimkan pasukan yang kuat dari Ambon lengkap dengan persenjataan di
bawah pimpinan Mayor Beetjes. Ekspedisi ini berangkat tanggal 17 Mei 1817.
Dengan perjalanan yang melelahkan, pada tanggal 20 Mei 1817 pasukan itu tiba di
Saparua dan terjadilah pertempuran dengan pasukan Pattimura. Pasukan Belanda
dapat dihancurkan dan Mayor Beetjes mati tertembak.
Belanda berusaha
mengadakan perundingan dengan Pattimura namun tidak berhasil sehingga
peperangan terus berkobar. Belanda terus-menerus menembaki daerah pertahanan
Pattimura dengan meriam, sehingga benteng Duurstede terpaksa dikosongkan.
Pattimura mundur, benteng diduduki Belanda, tetapi kedudukan Belanda dalam
benteng menjadi sulit karena terputus dengan daerah lain. Belanda minta bantuan
dari Ambon. Setelah bantuan Belanda dari Ambon yang dipimpin oleh Kapten Lisnet
dan Mayer datang, Belanda mengadakan serangan besarbesaran (November 1817).
Akhir
Perlawanan
Serangan Belanda tersebut, menyebabkan pasukan Pattimura semakin terdesak.
Banyak daerah yang jatuh ke tangan Belanda. Para pemimpinnya juga banyak yang
tertangkap yaitu Rhebok, Thomas Pattiwael, Pattimura, Raja Tiow, Lukas
Latumahina, dan Johanes Mattulessi. Pattimura sendiri akhirnya tertangkap di
Siri Seri yang kemudian dibawa ke Saparua. Belanda membujuk Pattimura untuk
diajak kerja sama, namun Pattimura menolak. Oleh karena itu, pada tanggal 16
Desember 1817
Pattimura dihukum gantung di depan benteng Victoria Ambon. Sebelum
digantung, Pattimura berkata ”Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi
sekali waktu kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”.
Tertangkapnya para pemimpin rakyat Maluku yang gagah berani tersebut
menyebabkan perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda melemah dan akhirnya
Maluku dapat dikuasai oleh Belanda.
PERLAWANAN KAUM PADRI (1821 – 1837)
Latar
Belakang Terjadinya Perlawanan
Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu
minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang oleh
kaum Padri sangat bertentangan dengan agama Islam.
Kaum Padri berusaha menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat
menolaknya maka kemudian terjadilah pertentangan antara kedua golongan
tersebut.
Gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji
asal Minangkabau dari Mekkah tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji
Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru
dalam masyarakat Minangkabau dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran agama Islam.
Tujuan gerakan Padri adalah untuk membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan dan adat istiadat setempat yang dianggap
menyalahi ajaran agama Islam. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta
dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama. Gerakan ini kemudian
terkenal dengan nama “Gerakan Wahabi”. Kaum adat tidak tinggal diam, tetapi
mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Datuk Sati, maka terjadilah perang
saudara.
Perang saudara mulai meletus di Kota Lawas, kemudian menjalar ke kota-kota
lain, seperti Bonjol, Tanah Datar, dan Alahan Panjang. Tokoh-tokoh kaum Padri
yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Pasaman, dan
Tuanku Hitam. Kaum adat mulai terdesak. Ketika Belanda menerima penyerahan
kembali daerah Sumatera Barat dari Inggris, kaum adat meminta bantuan kepada
Belanda menghadapi kaum Padri. Oleh karena itu, kaum Padri juga memusuhi
Belanda.
Jalannya
Perlawanan
Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun
1821 dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli
Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh
menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya. Pertempuran berlangsung seru
sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda
mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan
Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak jumlahnya.
Tanggal 22 Januari 1824 diadakan perjanjian Mosang dengan kaum Padri,
namun kemudian dilanggar oleh Belanda. Pada April 1824 Raaf meninggal
digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun Benteng Fort De Kock, di Bukit
Tinggi. Tanggal 15 November 1825 diadakan perjanjian Padang. Kaum Padri
diwakili oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said
Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang
Belanda mengadakan perjanjian itu dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu
menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat
diharapkan, karena di Jawa sedang pecah Perang Diponegoro.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak
Mandailing, Tapanuli. Di Natal, Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan
kepada kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai
perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat
mempertahankan serangan Belanda di sana.
Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di
Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga
Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Sejak itu kampung demi kampung dapat
direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot
Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh
daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat kenyataan ini baik kaum Adat
maupun kaum Padri menyadari arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka
bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.
Akhir
Perlawanan
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan
ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku
Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa
perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian
lain.
Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat
mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan
pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui
kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan
berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,
yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol
tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu
lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah
pihak.
Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan
Belanda menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada
tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak
berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus
berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838. Setelah itu
berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.
PERLAWANAN DIPONEGORO (1825 – 1830)
Perlawanan rakyat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro merupakan
pergolakan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan mengatasi perlawanan ini dan
menanggung biaya yang sangat besar. Adapun sebab-sebab terjadinya Perang
Diponegoro dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.
Jalannya
Perlawanan
Dari Selarong, tentara Diponegoro mengepung kota Yogyakarta sehingga
Sultan Hamengku Buwana V yang masih kanak-kanak diselamatkan ke Benteng
Belanda. Perang berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya dengan siasat
perang gerilya dan mendadak menyergap musuh. Pangeran Diponegoro ternyata
seorang panglima perang yang cakap. Berkali-kali pasukan Belanda terkepung dan
dibinasakan. Belanda mulai cemas. Dipanggillah tentaranya yang berada di
Sumatera, Sulawesi, Semarang, dan Surabaya untuk menghadapi laskar Diponegoro.
Namun, usaha itu sia-sia.
Pusat pertahanan Diponegoro dipindahkan ke Plered. Dari sini gerakan
Diponegoro meluas sampai di Banyuwangi, Kedu, Surakarta, Semarang, Demak, dan
Madiun. Kemenangan yang diperoleh Diponegoro membakar semangat rakyat sehingga
banyak yang menggabungkan diri. Bupati daerah dan bangsawan kraton banyak juga
yang memihak kepadanya. Misalnya Bupati Madiun, Bupati Kertosono,
Pangerang Serang, dan Pangeran Suriatmojo dari Banyumas. Di Plered,
Pangeran Diponegoro sempat dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul
Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa,
berpusat di Plered. Tanggal 9 Juni 1862 Plered diserbu Belanda. Pertahanan
dipimpin oleh Kerta Pengalasan. Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro
dibantu seorang yang gagah berani, bernama Sentot dengan gelar Alibasyah
Prawirodirjo, putra dari Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo.
Dari Plered, pertahanan Pangeran Diponegoro dipindahkan lagi ke Deksa.
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi pasukan Diponegoro. Belanda
terpaksa mendatangkan pasukan tambahan dari negeri Belanda. Namun, pasukan
tambahan Belanda tersebut dapat dihancurkan oleh pasukan Diponegoro. Akibat
berbagai kekalahan perang pada periode tahun 1825 – 1826 Belanda pada tahun
1827 mengangkat Jenderal De Kock menjadi panglima seluruh pasukan Belanda di
Jawa.
Belanda menggunakan siasat perang baru yang dikenal dengan ”Benteng
Stelsell”, yaitu setiap daerah yang dikuasai didirikan benteng untuk mengawasi
daerah sekitarnya. Antara benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan
oleh pasukan gerak cepat. Benteng Stelsell atau Sistem Benteng ini mulai
dilaksanakan oleh Jenderal De Kock pada tahun 1827. Tujuannya adalah untuk
mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat
pertahanan berupa bentengbenteng di daerah-daerah yang telah dikuasainya
penasihat Perang Diponegoro beliau seorang ulama dari daerah Surakarta,
meninggal pada tanggal 20 Desember 1849 di Tondano
Dengan adanya siasat baru
ini perlawanan pasukan Diponegoro makin lemah. Di samping itu Belanda berusaha
menjauhkan Diponegoro dari pengikutnya.
d. Akhir Perlawanan
Penyerahan para pangeran ini secara berturut-turut sangat memukul perasaan
Diponegoro. Dalam menghentikan perlawanan Diponegoro, Belanda menempuh jalan
yang mungkin. Rupanya Belanda memakai prinsip menghalalkan cara untuk mencapai
tujuan dalam menghadapi Diponegoro.
Belanda mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang, Belanda
berjanji seandainya perundingan gagal, Pangeran Diponegoro boleh melanjutkan
kembali ke medan perang.
Perundingan ini baru dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 1830, setelah
Diponegoro beristirahat selama 20 hari karena bulan Ramadhan. Ternyata
perundingan ini menemui kegagalan dan dalam perundingan itulah Pangeran
Diponegoro ditangkap.
Belanda telah mengkhianati Diponegoro. Belanda telah mengkhianati
janjinya. Dari Magelang Diponegoro dibawa ke Semarang dan Batavia. Akhirnya
diasingkan ke Manado tanggal 3 Mei 1830.
Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makasar (sekarang Ujung Pandang) dan
wafat tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.
PERLAWANAN
SISINGAMANGARAJA XII
Latar
Belakang
Sejak
Belanda mencerngkramkan kekuasaannya di Nusantara,
sejak saat itu pula kehidupan masyarakat Nusantara ditentukan oleh
keadaan politik yang terjadi di negeri Belanda dan Eropa. Berbagai kebijakan
yang ditetapkan oleh Belanda, semata-mata semuanya adalah untuk mencari
keuntungan untuk pihak Belanda sendiri, sedangkan rakyat Indonesia yang
dikuasai mengalami penderitaan yang cukup hebat karena harus menanggung
kebijakan yang menyengsarakan tersebut.
Selain melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya di tanah jajahan, Belanda juga melakukan politik Pax
Nederlandica dan mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para
misionaris. Kedua hal tersebut dilakukan Belanda dalam rangka melanggenkan
kekuasaannya di Nusantara. Maka beragam reaksi perlawan dilakukan oleh rakyat atas
kebijakan Belanda yang menyengsarakan tersebut dan proses kristenisasi yang
dianggap sebagai sebuah hal yang bertentangan bagi rakyat Indonesia yang pada
saat itu sudah mempunyai agama. Perlawanan tersebut biasanya dipimpin oleh para
pemimpin lokal yang kebanyakan khawatir dengan politik Pax Nedelandica yang
akan merongrong daerah kekuasaannya.
Diantara banyak perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia beserta
pemimpinnya, salah satunya adalah perlawanan Tapanuli atau perang Tapanuli
biasa disebut dengan perang Batak yang berlangsung selama 29 tahun dengan tokoh
terkenalnya yaitu Sisingamangaraja XII. 1)
Sisingamangaraja
XII Sisingamangaraja XII adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanggal 19
November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sisingamangaraja XII
memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli,
Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu
Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga
Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19
tahun. Gelarnya adalah Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga
kata, yaitu 'si', 'singa', dan 'mangaraja'. 'Si' adalah kata sapaan, 'singa'
merupakan bahasa Batak yang berarti bentuk rumah Baka, sedangkan 'mangaraja'
sama maksudnya dengan kata 'maharaja'. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja
orang Batak.
Ada
dua versi tentang asal-usul Sisingamangaraja dan kerjaan Batak. versi pertama
mengatakan Sisingamanagaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk
oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling
ke Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat
kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan
Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia
sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20,
Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin
Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya
kepada pemimpin Pagaruyung.
Sedangkan versi kedua berasal dari mitos rakyat yang diceritakan
dalam berbagai versi lagi, namun secara garis besar versi itu menyatakan
Manghuntal (Sisingamanagaraja I) adalah keturunan Bona Ni Onan bermarga
Sinambela. Sebelum kelahirannya Sisingamaraja I telah diramalkan bahwa ia
adalah titisan dari Batara Guru dan akan menjadi seorang raja besar. Setelah
dewasa Manguntal akhirnya menjadi raja setelah berhasil mencabut keris yang
bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja Dompak dinyakini
tidak akan bisa dicabut dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki
kesaktian, kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi
titisan Batara Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja).
Singamangaraja
XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di
pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di
perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah
peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten
Hans Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan
Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di
Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara
militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan
dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh
Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.
Jalannya
Perang
Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda
kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai
di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan
beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja
XII mengunjungi suatu negeri semua yang "terbeang" atau ditawan,
harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti
penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta
bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat
untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi
sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil
Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal
Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini
telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas
(perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal
Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan
pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari
Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja
diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat
ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan
diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di
Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan
berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus
melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa
kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga
dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Karena lemah secara taktis,
Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan
tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur
pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan
turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena Belanda selalu unggul
dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara
tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke
Kota Tua. Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan
ini dapat dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser,
namun Belanda juga menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga
Belanda terpaksa mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena
untuk menghindari berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan.
Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali
menyerang Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur
dari Lobu Talu. Namun Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga
Lobu Talu dapat direbut kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong
diduduki oleh Belanda. Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran.
Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba,
terjadi pertarungan sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan
Belanda membalasnya terus menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan
Batak mundur ke daerah Horion.
Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di
seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan
menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII
tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada
menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu
pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII.
Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja
XII barisan musuh ini dijuluki "Si Gurbak Ulu Na Birong". Tetapi
pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon
menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan
berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII
menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung,
Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal
Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat
Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda.
Ini terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau
Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak
bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala,
Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap
putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim.
Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul
Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang
namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten
Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda
pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya
Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya
berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga
Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun
ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya Sisingamangaraja XII merupakan
pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda. 4)
Akhir
Perang
Yang awalnya pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana
namun tahun 1900 kekuatan Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna
tidak dikerahkan untuk melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan
memperthankan diri dari serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak –
Pak Masih setia kepada mereka. Selain itu Belanda juga melakukan gerakan
pembasmi gerakan – gerakan perlawanan yang ada diSumatera ( Aceh dan
Batak). Operasi diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus
ke Batak. Mereka mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung yang
membangkan pertempuran semakin sengit antara kedua belah pihak.
Pada saat Belanda sampai di
daerah pak – Pak dan Dairi pasukan Si Singa Mangaraja semakin terkepung
sedangkan di lain pihak hubungan mereka dengan Aceh sudah terputus. Denga
terdesaknya pasukan Si Singa Mangaraja merka terus berpindah – pindah
dari satu tempat ketempat yang lain untuk menyelamatkan diri. Tahun 1907
pengepungan yag dilakukan oleh Belanda terhadap pasukan Si Singa Mangaraja
dilakukan secara intensif yang dipimpin oleh Hans Christoffel.
Dimulai menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun
merak gagal menangkap Si Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja
ditawan oleh Belanda. Boru Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan
dijadikan tawanan perang oleh Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum
juga mneyerahkan diri dan belanda terus mencari sampai tanggal 28 Mei
pihak belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus maka
Wenzel menarahkan pasukan untuk menangkapnya tetapi tidak
berhasil.
4 Juni 1907 pihak Belanda
mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Penegen dan Bululage dan mereka
melakukan pengerebekan melalui Huta Anggoris yang tak jauh dari
panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah meninggalkan tepat itu sebelum
mereka datang. Si Singa Mangaraja terus menyikir ke darah Alahan
sementara itu Belanda terus mengejar melalui kampung Batu Simbolon, Bongkaras
dan Komi. Banyak penduduk sekitar ditangkap karena dicurigai bekerjasma dengan
Si Singa Mangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan Belanda tanggal 17 jJuni 1907
Si Singa Mangaraja berhasil ditangkap didekat Aik Sibulbulon ( derah
Dairi ) dalam keadaan lemah Si Singa Mangaraja dan pasukanya terus mengadakan
perlawanan. Dalam peristiwa Si Singa Mangaraja tertebak oleh Belanda sehingga
pada saat itu Si Singa Mangaraja mati terbunuh ditempat. Disaat yang bersamaan
anak perempuan dan dua putra laki – lakinya juga gugur sedankan istri,
ibu dan putra – putra masih menjadi tawana perang oleh Belanda . dengan
gugurnya Si Singa Mangaraja maka seluruh daerah Batak menjadi milik Belanda.
Sejak saat itu kerja rodi didaerah ini meraja lelah struktur tradisional
masyarakat semaki lama semakin runtuh.