Tokoh Muhammadiyah
1.
KH. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir
di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah pendiri Organisasi Islam Muhammadiyah
sekaligus seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Dengan organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut
kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman
dan Islam.
2.
KH. Ibrahim
KH.
Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia
adalah putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri
Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933:
227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim
menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`.
1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak
berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang
beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah putri ragil dari
KH. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah). KH. Ibrahim adalah Ketua PP
Muhammadiyah yang kedua, menjabat pada tahun 1923 – 1933.
3.
KH Hisyam
Kiai Haji Hisyam - lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883. Pertama
kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934,
kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada
tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di
Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen
organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih
banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama
maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada
periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini
disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.
4.
KH. Mas Mansyur
Kiai
Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di
Surabaya, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan
nasional Indonesia. Dia dikenal sebagai imam tetap dan
khatib di Masjid Ampel,
suatu jabatan terhormat pada saat itu. Pada
tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer
dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah
sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu
dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni
setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul
Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas
Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus
Hadikusumo (lahir di Jogjakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di
kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November
1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah
Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Pada
tahun 1937, Ki
Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi
Wakil Ketua PP Muhammadiyah.
Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang
untuk menjadi ketua Putera(Pusat Tenaga Rakyat),
Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini
dijabat hingga tahun 1953.
6.
AR.
Sutan Mansur
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau
lebih dikenal sebagai AR
Sutan Mansur lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 – meninggal 25 Maret 1985 pada umur 89 tahun adalah seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah. Tahun 1923 dia menjadi guru serta
mubaligh Muhammadiyah. Ketika
berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih
sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni
pada Kongres ke-33 di Palembang, dia terpilih kembali sebagai ketua PP
Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur
diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.
7.
KH. Ahmad Badawi
KH Ahmad Badawi (lahir
di Yogyakarta, 5 Februari 1902 – meninggal di Yogyakarta, 25 April 1969 pada umur 67 tahun), adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1962-1965.
8. KH.
Faqih Usman
Kyai Haji Fakih Usman (juga
ditulis Faqih Usman;
lahir 2 Maret 1904 – meninggal 3 Oktober 1968 pada umur 64 tahun) merupakan seorang pemimpin Islam Indonesia.
Dia menjadi Menteri Agama pada dua
kesempatan: pertama, dengan Kabinet Halimsaat
Republik Indonesia merupakan bagian dari Republik
Indonesia Serikat, dan kedua sebagai
Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo.
Pada tahun 1925 dia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi ketua cabang Surabaya pada tahun 1938. Dia berjasa sebagai
wakil ketua di bawah beberapa pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum
Muhammadiyah pada akhir tahun 1968, beberapa hari sebelum dia meninggal.
9.
KH. AR. Fachruddin
Kyai Haji Abdul Rozak Fachruddin (lahir di Pakualaman, Yogyakarta, 14 Februari 1916 – meninggal di Solo, Jawa Tengah, 17 Maret 1995 pada umur 79 tahun) adalah seorang ketua umum Muhammadiyah.
Ia dikenal dengan sebutan A.R. Fachruddin atau nama panggilan lainnya adalah
Pak A.R. Abdul Rozak Fachruddin dikenal sebagai ketua umum Muhammadiyah yang
paling lama, yaitu 22 tahun (1968-1990).
10.
Kyai
Haji Ahmad Azhar Basyir, MA (Ketua 1990 - 1995)
Tokoh
kharismatik dan pejuang perang sabil ini dikenal sebagai ulama yang sederhana,
dan tak sedikit pula orang yang kagum pada kecemerlangan iktelektualnya. Azhar
Basyir, demikian Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA kerap disapa.
Ulama-intelektual ini lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Masa kecilnya
tumbuh dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang kuat berpegang pada nilai
agama. Yaitu, di kampung Kauman.
Selama
34 tahun Azhar Basyir malang melintang menggeluti studi formalnya di Tanah Air
hingga luar negeri. Putra pasangan Haji Muhammad Basyir dan Siti Djilalah ini
memulai pendidikan di Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta.
Setelah tamat, Azhar Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes
Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian, Azhar Basyir berpindah
ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertamanya
pada Tahun 1944. Pendidikan lanjutan kemudian ditempuhnya di Madrasah
Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta dan rampung dalam dua
tahun.
11.
Prof. Dr. H. Amien Rais
Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir
di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 68 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 - 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada
bulan Oktober 1999. Amien dibesarkan dalam keluarga
aktivis Muhammadiyah.
Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak
dihabiskan di luar negeri. Amie
Rais menjabat Ketua PP Muhammadiyah pada tahun 1995 – 1998.
Prof.
Dr. Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin (lahir di Sumbawa
Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958; umur 53 tahun), adalah
seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak. Din
pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal
Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah
menjabat sebagai Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985),
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), Wakil Ketua PP Muhammadiyah
(2000-2005), Sekretaris Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan Ketua Litbang Golongan Karya.
13. Ahmad
Syafi'i Ma'arif
Ahmad
Syafi'i Ma'arif adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, yang juga
dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan
yang kuat.
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang diposisikan sebagai Bapak Bangsa ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja iini tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis dan menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak.
Selain itu, ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, berjudul Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, yang diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang diposisikan sebagai Bapak Bangsa ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja iini tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis dan menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak.
Selain itu, ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, berjudul Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, yang diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
No comments:
Post a Comment